OPINI | ELISABET
Poskotajatim.co.id | INDONESIA adalah negara hukum kalimat tersebut tentu tidak asing lagi kita dengar maupun kita jumpai di berbagai media surat kabar. Indonesia disebut negara hukum karena prinsip negara hukum tertanam dalam konstitusi dan sistem hukumnnya.
Prinsip negara hukum tersebut mengacu pada ide bahwa hukum adalah supremasi tertinggi yang mengatur negara dan warganya tanpa adanya pengecualian atau diskriminasi.
Tujuan dibentuknya hukum tentu untuk mengatur tata tertib masyarakat, menjaga ketertiban, keadilan dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak individu agar tercipta persatuan dan perdamaian di Indonesia.
Namun, adanya hukum di Indonesia tidak dapat menentukan sistem hukum di Indonesia dapat berlangsung dengan baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi lemahnya sistem hukum dan ketidak mampuan dalam menegakkan hukum secara konsisten adalah marakya korupsi di Indonesia.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi merupakan penyelewengan atau penyalagunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dll) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi juga dapat disebut tidakan pencurian uang negara.
Terjadinya korupsi tentu dapat merugikan masyarakat dan negara secara luas, karena dapat mengurangi kepercayaan publik kepada pemerintah ataupun lembaga publik.
Selain daripada itu, korupsi dapat menghambat pembangunan dan partumbuhan ekonomi. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu “penyakit” negara Indonesia yang sulit untuk disembuhkan.
Hal tersebut terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap yang dimiliki sehingga tiap-tiap tahunnya tindak pidana korupsi masih terjadi.
Dalam mengatasi permasalahan tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam undang-undang tersebut juga dijelaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ambil bagian dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK merupakan Lembaga independen di Indonesia yang bertugas mencegah, memberantas, dan memberikan pemulihan terhadap tindak pidana korupsi.
KPK telah menjadi salah satu lembaga yang paling dihormati dan di akui di Indonesia dalam upaya pemberantasan korupsi. KPK terkenal dengan upaya penindakan yang tegas dan transparan terhadap kasus korupsi, dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai bahaya dan dampak negatif dari korupsi.
Sampai saat ini KPK belum pernah memberikan edukasi secara khusus kepada pihak pemerintah. Seperti yang kita ketahui tindak pidana korupsi dilakukan oleh pemerintah,bain pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang saya peroleh dari DATABOKS (03 Novenber 2022) bahwa, mayoritas tindak pidana korupsi terjadi di instansi pemerintah kabupaten/kota, yakni 573 kasus.
Jumlahya setara 40,99% dari total kasus korupsi sejak tahun 2004 sampai 20 Oktober 2022. Dari data tersebut juga diperoleh Tindak pidana korupsi terbanyak berikutnya berada di kementerian/lembaga dengan jumlah 406 kasus pemerintah kota 160 kasus, dan BUMD/BUMN 109 kasus.
Ada pula tindak pidana korupsi yang dilakukan di instansi DPR/DPRD sebanyak 76 kasus dan komisi (lembaga non-struktural) 22 kasus. Sejak 2004 sampai 20 Oktober 2022, mayoritas tindak pidana korupsi di Indonesia terkait penyuapan dengan jumlah 867 kasus. Kemudian korupsi pengadaan barang/jasa 274 kasus dan penyalahgunaan anggaran 57 kasus.
Berikutnya ada tindak pidana pencucian uang (TPPU) 49 kasus, pungutan/pemerasan 27 kasus, korupsi perizinan 25 kasus, dan merintangi proses KPK 11 kasus. Berbagai macam kasus tersebut dilakukan para pemerintah pusat hingga pemerintah daerah.
Berdasarkan data tersebut hukum yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dapat dijalankan, secara khusus pada masalah korupsi. Tindak pidana sulit teratasi meskipun telah diatur di dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi dan terdapat lembaga yang bertugas dalam menangani kasus tersebut.
Sanksi yang termuat didalamnya belum dapat memberikan efek jera terhadap pelaku dan tidak dapat memberikan kewaspadaaan bagi masyarakat ataupun pemerintah.
Sehingga yang terjadi masyarakat ataupun pemerintah masih dapat menemukan peluang dalam melakukan tindak pidana korupsi. Sanksi yang terdapat didalam UU tersebut seharusnya dapat semakin diperberat.
Karena, jika sanksinya semakin berat maka semakin kuat pula tingkat kewaspadaan masyarakat ataupun pemerintah dalam melakukan tindakan melawan hukum.
Selain daripada itu, dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya KPK dapat meningkatkan pengawasan diberbagai daerah serta melakukan sosialisasi atau edukasi mengenai bahaya dan dampak negatif tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi bukan suatu permasalahan yang harus disepelekan karena banyak orang yang dirugikan dan bahkan dapat merugikan Negara merupakan akibat dari tindakan tersebut.
Oleh sebab itu, untuk mengatasi korupsi perlu adanya kesadaran dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan pelaku bisnis untuk menghindari tindakan korupsi dan memperkuat sistem pengawasan dan transparansi di sekitar kita.
Selain itu perlu juga ditingkatkan efektivitas lembaga anti korupsi seperti KPK dalam penegakan hukum dan pencegahan korupsi dengan cara yang proporsional dan adil. (Elisabet)