POSKOTAJATIM.CO.ID – Sidang dugaan pengemplangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) senilai Rp 2,5 miliar, dengan terdakwa Ronny Widharta, mantan pimpinan PT Sinar Pembangunan Abadi (SPA) Mojokerto, memasuki babak akhir yaitu pledoi.
Dalam persidangan di Ruang Cakra Pengadilan Negeri Mojokerto, Selasa (4/4) siang, kuasa hukum terdakwa menyatakan jaksa tidak memahami pokok masalah tentang perpajakan.
‘”Perkara ini hanya pelaporan pajak tidak lengkap, seharusnya dapat diselesaikan melalui pembayaran. Apalagi perusahaan sudah dinyatakan pailit oleh negara, jadi tidak ada alasan untuk diajukan peradilan pidana,” ujar R Fauzi Zuhri, ketua tim kuasa hukum.
Sementara dalam pembelaan pribadinya, Ronny mengaku tidak pernah mendapat teguran atau himbauan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kalau memang dirinya ada indikasi ‘nakal’, seharusnya KPP melakukan itu sebagai SOP fungsi pengawasan.
Ronny mengingatkan, dalam asas perpajakan pasal 37, 38 dan 39 tentang Ultimatum Remidium UU No 7 Tahun 2021, menegaskan wajib pajak yang melunasi pokok dan sanksi dapat terhindar dari pidana dan tahun persidangan.
Dan sesuai fakta selama persidangan, Ronny menambahkan, selama tahun 2019 telah terungkap kalau perusahaannya dan dirinya pribadi sudah dinyatakan pailit bersama segala akibat hukumnya secara Incrah.
Berdasar Peraturan MA no 13 tahun 2016 pasal 8 ayat 1 korporasi yang telah pailit, setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana.
“Ditegaskan di ayat 2, gugatan terhadap aset tersebut dapat diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau pihak ke 3 yang menguasai aset tersebut. Bukan terhadap saya, apalagi dengan dalih pidana,” katanya.
Seharusnya, kata Ronny, tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator berdasar UU no 37 tahun 2004 pasal 26 ayat 1.
Ronny juga mengutip UU no 1 tahun 2004 kerugian negara adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum baik senagaja maupun tidak.
“Kalau KPP tidak menerbitkan SKP (Surat Ketetapan Pajak),lalu bagaimana bisa dikatakan hutang pajak yang nyata dan pasti jumlahnya, yang dapat disebut menimbulkan kerugian negara?,” Keluh Ronny.
Sebab bila itu dipaksakan, maka sesuai Dasar Sema no 4 tahun 2016 poin 6 disebutkan, Instansi yang berwenang menyatakan adanya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sehingga instansi lainnya tidak berwenang Mendeclare adanya kerugian negara.
Ronny juga menyinggung tuntutan JPU yang hanya berdasar keterangan saksi ahli pajak, tetapi dalam persidangan, saksi ahli pajak tersebut justru tidak pernah dihadirkan.
“Terkesan tuntutannya berat sebelah, sehingga saya tidak bisa melakukan pembelaan. Lalu azas keadilan bagi saya mana?,” Tanya Ronny. (##)