POSKOTAJATIM.CO.ID – Seorang pria Thailand dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena menjual kalender yang menampilkan kartun satir bebek kuning, yang menurut pengadilan mengejek raja Thailand.
Pengadilan Kriminal Bangkok memutuskan kalender 2021 yang berisi gambar bebek kuning dalam pose yang mirip dan mengejek Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, telah menurunkan reputasi raja, kata kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand.
Bebek karet kuning pernah menjadi simbol gerakan protes pro-demokrasi Thailand.
Pria bernama Narathorn Chotmankongsin tersebut didakwa berdasarkan undang-undang yang menuntut hukuman penjara tiga hingga 15 tahun bagi siapa saja yang mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam raja, ratu, pewaris atau pemimpin provinsi.
Pengadilan menyatakan enam ilustrasi dalam kalender dibuat untuk mengejek raja.
Baca Juga: Ngeri, Ular Sanca Menggigit dan Lilit Petugas Damkar di Sidoarjo
Kelompok bantuan hukum mengatakan hukuman untuk terdakwa yang berusia 26 tahun dengan nama panggilan Ton Mai itu dikurangi menjadi dua tahun karena dianggap kooperatif selama proses pengadilan.
Rabu (08/03) lalu, Human Rights Watch mengeluarkan pernyataan meminta pihak berwenang Thailand untuk membatalkan hukuman dan segera membebaskan Narathorn Chotmankongsin.
“Penuntutan dan hukuman tiga tahun terhadap seorang pria karena menjual kalender satir menunjukkan pihak berwenang Thailand mencoba untuk menghukum aktivitas apa pun yang mereka anggap menghina monarki,” kata Elaine Pearson, direktur Asia di Human Rights Watch.
“Kasus ini mengirim pesan ke semua warga Thailand, dan ke seluruh dunia, bahwa Thailand telah bergerak lebih jauh dari demokrasi yang menghargai hak asasi, bukannya lebih dekat.”
Undang-undang ‘lese majeste’ yang dipakai untuk menangkap pria tersebut sudah lama menuai kritikan, karena selain keras, juga memungkinkan siapa pun untuk mengajukan keluhan, sehingga mengizinkan penggunaannya untuk tujuan politik partisan.
Baca Juga: Sistem Kekerabatan Indonesia Ternyata Identik dengan Filipina, Begini Penjelasan Ahli Antropologi
Dalam beberapa tahun terakhir, para aktivis pro-demokrasi telah menyerukan agar undang-undang ini diubah atau dihapuskan.
Dua aktivis perempuan yang menuntut pencabutan dan reformasi peradilan lainnya dilaporkan pernah melakukan aksi mogok makan selama lebih dari enam minggu dan sekarang dalam kondisi kritis.
Setidaknya 233 orang sudah didakwa dengan undang-undang ‘lese majeste’ sejak November 2020, menurut Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand.
Sebelumnya, penuntutan sempat ditangguhkan secara tidak resmi, tetapi dilanjutkan kembali ketika ada gerakan unjuk rasa yang semakin kuat dan semakin banyak kritik keras terhadap monarki.
Tuntutan untuk mereformasi monarki menjadi kontroversi karena menurut tradisi, institusi tersebut dianggap tidak tersentuh dan merupakan salah satu fondasi utama nasionalisme Thailand.**